The Power of Silaturahim dan Eksistensi NKRI


Oleh: AQUA DWIPAYANA

Sebagian dari masyarakat kita cenderung reaktif dan defensif dalam merespons suatu tinjauan tentang Indonesia, baik sebagai bangsa maupun negara. Seringkali reaksinya pun cenderung berlebihan, tidak proporsional, dan cenderung emosional. Jika nada tinjauannya positif, sebagian kita itu kemudian seperti terbuai dalam mimpi terbang melayang tinggi-tinggi. Jika isinya negatif, buru-buru disiapkan berjuta argumen bantahan. Bukan hanya itu, muncul hujatan berjamaah terhadap pihak yang melontarkan tinjauan itu.

Itulah yang, misalnya, terjadi ketika belakangan ramai dibicarakan dalam bagai forum diskusi di jagat nyata maupun dunia maya mengenai Indonesia yang disebut-sebut tinggal bekasnya saja pada 2030. Di kalangan intelijen dan di lingkungan kajian strategis, skenario buruk semacam itu sesungguhnya bukan barang baru. Sumber referensinya pun bukan hanya satu dua. Masalah itu menjadi ramai dan menimbulkan kontroversi belakangan ini setelah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) dan Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto menyitirnya dalam pidato di suatu acara yang digelar mahasiswa di Universitas Indonesia pada 2017.

Partai Gerindra kemudian mengunggah bagian pidato Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu di laman facebook partai berlambang kepala burung garuda itu pada 18 Maret 2018. Daam pidato tersebut, Prabowo mengingatkan bahwa ada negara lain sudah memprediksi bahwa pada 2030 Indonesia hancur. Belakangan diketahui, prajurit komando yang akhirnya terjun ke kancah politik itu menyitir skenario yang dinarasikan dalam novel fiksi terbitan 2015 karya Peter W Singer dan August W Cole berjudul Ghost Fleet: A Novel of The Next World War. Banyak kalangan menilai Ghost Fleet bukan sembarang fiksi karena ditulis oleh ilmuwan politik terkemuka yang ahli di bidang strategi dan intelijen PW Singer, doktor jebolan Universitas Harvard, perguruan tinggi papan atas Amerika Serikat.

Singer dan Cole menarasikan skenario Perang Dunia III pada 2030 yang melibatkan tiga aktor utama, yakni Amerika Serikat di satu kubu, melawan Rusia dan China di kubu lainnya. Kawasan Asia Pasifik menjadi ajang pertarungan perang mutakhir yang mengandalkan teknologi robotik yang dipadukan kecanggihan teknologi informasi¬-komunikasi dan ruang angkasa. Indonesia disebut-sebut tinggal bekasnya, lenyap akibat pecahnya Perang Timor Kedua.

Banyak kalangan yang menilai konteks pernyataan Prabowo tentunya bukanlah untuk menebarkan pesimisme melainkan memberikan “warning” atau peringatan agar jangan sampai Indonesia yang besar dan kaya raya ini bubar. Kita tentu tidak meragukan nasionalisme beliau. Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu tentu tidak rela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibangun atas pengorbanan jiwa raga anak bangsa ini centang perenang hingga bubar.
Prediksi Lainnya

Sebelumnya, semasa aktif sebagai Panglima TNI (2015-2017), Jenderal TNI Gatot Nurmantyo juga gencar mengingatkan berbagai kalangan tentang potensi konflik antarnegara di masa mendatang yang dipicu oleh rebutan sumber daya, khususnya pangan dan energi. Perang yang terjadi akibat konflik itu tidak terbuka seperti perang konvensional melainkan pola perang proksi (proxy war), yakni memanfaatkan pihak ketiga, baik elemen internal maupun eksternal negara target, sebelum menginvasi secara langsung. Dengan melihat potensi sumber daya bidang pangan dan energinya, Gatot meyakini kawasan Asia Pasifik akan menjadi kancah perang masa depan. Jika itu terjadi, wilayah Indonesia  berpotensi menjadi medan utama pertempuran itu.

Di sisi lain, sejumlah lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Pricewaterhouse Cooper (PwC), dan Mc Kinsey memprediksi Indonesia bakal masuk ke dalam jajaran ekonomi papan atas dunia. PwC, misalnya, pada 9 Februari 2017, PwC merilis laporan proyeksi pertumbuhan ekonomi global hingga 2050 terhadap 32 negara terkemuka yang total ekonominya setara dengan 85% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. PwC memprediksi pada 2050, ekonomi Indonesia di posisi ke-4 terbesar dunia, menggeser posisi Jepang dan mengatasi negara-negara Eropa. PwC mencatat ekonomi Indonesia kini bertengger di peringkat kedelapan dunia.

Dalam laporan  berjudul The Long View How will the global economic order change by 2050 itu, PwC memprediksi perekonomian Indonesia mencapai US$5,42 triliun atau sekira Rp72,14 kuantiliun (juta triliun) pada 2030, menempati posisi ke-5, mengungguli Rusia dan Jerman serta negara-negara Eropa lainnya. Enam dari tujuh ekonomi terbesar dunia pada 2050 diprediksi berasal dari negara berkembang yang dipimpin oleh China di puncak, India di peringkat kedua, dan Indonesia posisi ke-4.

Sebelumya, pada 2012, McKinsey Global Institute juga memprediksi bakal kinclongnya perekonomian Indonesia. Lembaga riset ekonomi dan bisnis asal AS itu memprediksi Indonesia bakal menduduki posisi ke-7 besar ekonomi dunia pada 2030.

Bijak Memaknai Pesan

Dalam komunikasi, suatu pesan dapat disampaikan melalui berbagai medium untuk menyalurkannya kepada penerima yang ditargetkan. Medium yang dipergunakan dapat berupa media massa, seperti koran, majalah, tabloid, radio, televisi, situs web, buku, novel, film, dan sebagainya. Penyampaian pesan dapat secara verbal maupun nonverbal. Isi pesan pun dapat dikemas dalam simbol-simbol, berupa huruf, angka, gambar, dan tanda-tanda lainnya.

Untuk dapat menangkap maknanya dengan baik dan utuh, pesan jangan hanya dipahami dari yang tersurat. Apalagi dalam komunikasi politik yang melibatkan kalangan elite, baik di tingkat nasional maupun internasional. Terlebih, tahun ini kita memasuki tahun politik yang diprediksi bakal penuh dinamika. Hal ini terkait dengan akan digelarnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 Juni 2018. Ada 171 daerah di seluruh Indonesia yang bakal menggelar pilkada serentak untuk memilih pasangan gubernur-wakil gubernur dan bupati-wakil bupati/wali kota –wakil wali kota. Perinciannya, ada 17 provinsi –termasuk di Bali dan Jawa (kecuali DIY), 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada 2018. Pilkada ini menjadi ajang pemanasan menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Para kandidat dan partai politik yang berkepentingan dengan Pilpres 2019 bakal berlomba memanfaatkan ajang Pilkada 2018 sebagai batu pijakan menuju kursi RI-1 dan RI-2.

Pemahaman makna secara utuh akan melahirkan respons sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) yang mencerminkan kematangan diri seseorang. Pemahaman seperti itu akan melahirkan tanggapan yang bijaksana. Merespons dua gambaran atau prediksi masa depan Indonesia yang terkesan berlawanan tersebut, bagaimana sikap yang sepatutnya kita ambil sebagai anak bangsa dan warga negara?

Terkait dengan gambaran adanya perang masa depan yang memposisikan Indonesia tinggal bekasnya, alangkah baiknya jika kita belajar dari sikap Bung Karno, proklamator dan presiden pertama RI. Novel The Great Pacific War terbitan 1925 karya Charles Hector Bywater disebut-sebut menginspirasi Bung Karno untuk memanfaatkan momentum Perang Pasifik bagi kemerdekaan Indonesia jika perang yang menghadap-hadapan Jepang dan pasukan sekutu itu benar-benar meletus.

Sejarah kemudian memperlihatkan Perang Pasifik itu benar-benar pecah dan berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pimpinan AS. Bung Karno yang telah mengantisipasi kemungkinan peristiwa itu sebelumnya intensif bersilaturahim untuk menjalin komunikasi dengan para tokoh pejuang kemerdekaan lintas daerah, suku, agama, dan golongan. Silaturahim yang terjalin dalam berbagai pertemuan itulah yang merekatkan dan mengeratkan keindonesiaan. Karena itu, tidak lama setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Indonesia bisa segera memproklamasikan kemerdekaannya.

Terkait dengan gambaran dalam novel Ghost Fleet itu. kita pun harus menyiapkan diri agar jika skenario Perang Dunia III itu benar-benar terjadi, Indonesia tetap mampu mempertahankan eksistensi dirinya sebagai negara-bangsa. Dengan begitu, skenario buruk hancurnya Indonesia tidak terjadi. Demikian pula dengan prediksi bakal kinclongnya perekonomian Indonesia yang hendaknya dimaknai secara bijak pula sehingga tidak meninabobokan kita. Kejayaan Indonesia pada dekade 2030-2050 itu tentu dilandasi sejumlah asumsi, antara lain bangsa dan negara kita mampu mengelola “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” secara optimal “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Untuk mencapai kejayaan itu, Indonesia juga harus bekerja ikhlas, kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan berkualitas dalam memanfaatkan bonus demografi yang diprediksi terjadi pada kurun 2020-2030. Ketika itu, jumlah penduduk didominasi warga usia produktif (15-64 tahun). Peningkatan penduduk usia produktif itu sudah tampak sejak 2010 dan puncaknya diprediksi terjadi pada kurun 2020-2030.  Pada 2030, jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai 305 juta orang, 195 juta Jiwa (64%) di antaranya penduduk usia produktif.

Bonus demografi itu laksana pedang bermata dua. Jika tepat menanganinya, bonus tersebut dapat benar-benar dimanfaatkan untuk memajukan Indonesia dan menyejahterakan masyarakatnya. Bonus demografi menyimpan potensi bagi peningkatan produktivitas dan menekan beban ketergantungan (dependency burden) hingg level terendah. Sebaliknya, jika salah mengurusnya, bonus demografi itu akan meningkatkan jumlah pengangguran akibat adanya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan tingkat partisipasinya.
Membangun Rasa Saling Percaya.

Upaya yang perlu dilakukan segenap komponen bangsa ialah terus menjalin dan memupuk silaturahim guna merawat kesadaran bersama sebagai satu Tanah Air, satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa: INDONESIA. Era teknologi komunikasi dan informasi (TIK) sesungguhnya sangat memudahkan kita menjalin silaturahim itu. Namun, TIK bukanlah jaminan karena teknologi sejatinya hanyalah medium. Untuk menjalin silaturahim, diperlukan 3K, yakni komitmen, kredibilitas, dan konsistensi.

Komitmen mensyaratkan silaturahim dilakukan tanpa pandang bulu dan menjunjung prinsip kesetaraan tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dalam ilmu komunikasi, apapun posisi atau kedudukannya, setiap orang dipandang punya peran, entah sebagai decision maker atau influencer. Komitmen juga mengandung aspek ketulusan, yakni silaturahim dilakukan tanpa pretensi, kecuali menjalin pertemanan, persahabat, atau persaudaraan. Agar optimal, silaturahim juga mengharuskan pelakunya menjaga kredibilitas, harus seia sekata, satu kata dan perbuatan. Terakhir, silaturahim harus konsisten dilakukan secara berkelanjutan (sutainable), tidak hanya kalau ada maunya saja.

Akhirnya, silaturahim berbasis prinsip 3K itu akan efektif jika ada rasa hormat (respect) terhadap sesama dan empati, yakni memahami situasi dan perasaan orang lain. Pesan-pesan yang disampaikan atau dikomunikasi dalam bersilaturahim itu juga harus dapat didengar (audible) dengan jelas (clarity), santun, dan tidak terkesan merendahkan atau meremehkan orang lain. Hal itu hanya dapat dilakukan jika komunikator memposisikan diri sebagai pihak yang minimal setara atau tidak lebih tinggi dari mitra bicara (komunikan) atau pihak yang terlibat bersilaturahim itu. Ada kerendahan hati (humble) dan menjauhkan diri dari sifat sombong. Sombong adalah pakaian Tuhan yang tidak layak manusia mengenakannya. Apalagi di mata Tuhan sesungguhnya semua manusia sama. Hanya amal kebajikannyalah pembedanya. Itulah yang dalam ilmu komunikasi disebut dengan konsep REACH, yakni respect, empathy, audible, clarity, dan humble.

Silaturahim berlandaskan prinsip 3K tersebut akan menghasilkan sosok manusia yang berintegritas. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam berorganisasi –bisnis maupun pemerintahan, integritas merupakan faktor utama untuk meraih kepercayaan (trust). Kepercayaan ini merupakan barang langka yang teramat mahal dan hanya didapatkan oleh orang-orang berintegritas tinggi. Politisi/tokoh pemerintahan berintegritas akan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat (pemilih) sehingga tanpa berkampanyekan pun bakal terpilih.

Demikian juga pemimpin perusahaan dan organisasi perusahaan yang berintegritas akan mendapatkan kepercayaan masyarakat (konsumen). Tingkat kepercayaan yang tinggi antarkomponen bangsa itulah yang dapat membuat Indonesia terhindar dari skenario buruk yang disebutkan dalam novel Ghost Fleet dan tercapai kejayaan Indonesia sebagaimana prediksi sejumlah lembaga itu. Stephen R Covey dalam bukunya The Speed of Trust: The One Thing That Changes Everything merumuskan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan dalam suatu masyarakat, semakin cepat tercapai suatu hasil yang diinginkan bersama. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kepercayaan, semakin lama/sulit proses tercapai suatu hasil.

*Penulis adalah pakar komunikasi dan motivator, penulis buku superbest seller The Power of Silaturahim: Rahasia Sukses Menjalin Komunikasi. Tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Related News

Comment (0)

Comment as: